BIOGRAFI J. E. TATENGKENG
J.E.
Tatengkeng adalah satu-satunya penyair zaman Pujangga Baru yang membawa warna
kekristenan dalam karya-karyanya. Hal ini tidaklah ganjil jika ditelusuri latar
belakang kehidupannya. Ia adalah putra dari seorang guru Injil yang juga
merupakan kepala sekolah zending. Di samping itu, tanah kelahirannya, tempat ia
dibesarkan oleh orang tuanya, adalah sebuah pulau kecil di timur laut Sulawesi
yang konon masyarakatnya hampir seluruhnya beragama Kristen.
J.E.
Tatengkeng memulai pendidikannya di sebuah sekolah Belanda, HIS, di Manganitu.
Ia kemudian meneruskannya ke Christelijk Middagkweekscool atau Sekolah
Pendidikan Guru Kristen di Bandung, Jawa Barat dan Christelijk Hogere
Kweekschool atau Sekolah Menengah Tinggi Pendidikan Guru Kristen di Solo, Jawa
Tengah.
Di
sekolah-sekolah itulah J.E. Tatengkeng mulai berkenalan dengan kesusastraan
Belanda dan gerakan Tachtigers “Angkatan 80-an”, yang kemudian banyak
mempengaruhi karya-karyanya. Meskipun banyak dipengaruhi Angkatan 80-an
Belanda, J.E. Tatengkeng ternyata juga tidak sependapat dengan Jacques Perk
yang mempertaruhkan seni dalai segala-galanya. Dalam sebuah tulisannya, “Penyelidikan
dan Pengakuan (1935), Tatengkeng menulis, “Kita tidak boleh menjadikan seni itu
Allah. Akan tetapi, sebaliknya, janganlah kita menjadikan seni itu alat
semata-mata. Seni harus tinggal seni.”
Bagi
Tatengkeng, seni adalah gerakan sukma, “Gerakan sukma yang menjelma ke indah
kata! Itulah seni bahasa!,” katanya. Sebagai penyair, J.E. Tatengkeng dikenal
sebagai penyair yang dekat dengan alam. Konon, kedekatan Tatengkeng dengan alam
itu timbul sebagai akibat kekecewaannya karena tidak dapat menemukan kebenaran
di dunia barat yang masih alami.
Meskipun
alam merupakan pelariannya dalam usaha menemukan kebenaran, alam baginya tetap
merupakan misteri. Di kawanan awan, di warna bunga yang kembang, pada gunung,
dan pada bintang, tetap saja Tatengkeng belum merasa berhasil menemukan
kebenaran hakiki. Oleh karena itu, setelah jiwanya lelah mencari kebenaran
hakiki, ia menjadikan Tuhan sebagai tempatnya berlabuh. Gelombang kehidupan
Tatengkeng itu tergambar pada sebagian besar sajak-sajaknya. Tentu saja
sajak-sajaknya yang religius itu bernafaskan ke-Kristenan, agama yang
dianutnya.
Sejak
tahun 1953, J.E. Tatengkeng mulai jarang menulis. Akan tetapi, krativitasnya
sebagai penyair tidak pernah hilang meskipun ia bergiat dalam bidang politik
dan pemerintahan. Hal itu dibuktikan dengan beberapa sajaknya yang dimuat pada
beberapa majalah setelah tahun 1953.
J.E
Tatengkeng meninggal pada tanggal 6 Maret 1968 dan dikebumikan di Ujung
Pandang, Sulawesi Selatan.
Karya-Karya
Puisi
Rindu Dendam. 1934. Solo: Chr. Derkkerij “Jawi” (Buku ini memuat 32 buah sajak)
Rindu Dendam. 1934. Solo: Chr. Derkkerij “Jawi” (Buku ini memuat 32 buah sajak)
Dalam majalah Pujangga Baru
“Hasrat
Hati”
“Laut”
“Petang”
“Petang”
“O,
Bintang”
“Sinar
dan Bayang”
“Sinar
di Balik”
“Tangis”
“Anak Kecil”
“Anak Kecil”
“Beethoven”
“Alice Nahon”
“Alice Nahon”
“Gambaran”
“Katamu Tuhan”
“Katamu Tuhan”
Willem
Kloos”
Dalam majalah lain
“Anak Kecil”
“Gadis
Bali”
“Gua
Gaja”
Ke
Balai”
“Sekarang
Ini”
“Sinar
dan Bayang”
“Aku
Dilukis”
“Bertemu
Setan”
“Penumpang
kelas 1”
“Aku
Berjasa”
“Cintaku”
“Mengheningkan Cipta”
“Mengheningkan Cipta”
“Aku
dan Temanku”
“Kepada
Dewan Pertimbangan Kebudayaan”
“Sang
Pemimpin (Waktu) Kecil”
Prosa
“Datuk yang Ketularan”
“Datuk yang Ketularan”
“Kemeja
Pancawarna”
“Prawira
Pers Tukang Nyanyi”
“Saya
Masuk Sekolah Belanda”
“Sepuluh
Hari Aku Tak Mandi”
Drama
1. “Lena”. Sulawesi. No. 1. Tahun 1. 1958
1. “Lena”. Sulawesi. No. 1. Tahun 1. 1958
Tidak ada komentar:
Posting Komentar